SEKILAS TENTANG “KITA”
Kaum Muda di era kontemporer.
INAL DATUNSOLANG, S.PD, M.Pd
Penulis adalah kader GP Ansor Bolmut
PENGANTAR
Seumpamanya bung karno hidup di masa kini, lebih tepatnya 2016 menjelang 2017, dapat dipastikan beliau akan geleng-geleng kepala melihat kaum mudanya. Kaum muda yang dipercaya dan diyakini sebagai penerima tongkat estafet mengisi kemerdekaan dengan tidak terjerumus pada perangkap globalisasi justeru malah menjadi budak-budaknya.
Mungkin bagi mereka, anak muda yang hidup di masa awal menjelang kemerdekaan mendedikasikan masa mudanya untuk mengkonsepsikan kemerdekaan juga akan tertawa terbahak-bahak melihat fakta kini yang melingkupi kaum mudanya yang sudah tak tahu bagaimana manisnya kebersamaan, indahnya perbedaan suku bangsa, adat budaya, serta agama yang diikat dalam sebuah sumpah suci.
Sumpah pemuda yang di deklarasikan oleh kaum muda yang terorganisir dalam jong java, jong celebes, jong sumatera, jong ambon dll. Dan mungkin bagi mereka, anak muda yang hidup di masa awal kemerdekaan dan turut mengabdikan dirinya dalam perang mempertahankan kemerdekaan akan pusing tujuh keliling, setelah tahu bahwa tujuh dasawarsa kemudian anak mudanya menjadi serba acuh tak acuh dengan kondisi bangsanya sendiri.
Sekali lagi mungkin, bagi mereka, anak muda yang hidup di masa penggulingan rezim orde lama, penggulingan rezim orde baru yang otoritarianisme itu, serta anak muda yang ikut mengisi era reformasi akan malu yang teramat sangat, ketika tahu dengan pasti bahwa kaum mudanya lebih takut kehilangan pulsa data ketimbang buku. Pernyataan tersebut bukan sebuah generalisasi negatif atas pesimisme yang dalam mengenai kaum muda dewasa ini. Melainkan sebuah kritik yang mesti dijawab dengan konsep gagasan dan bukti nyata berupa tindakan-tindakan yang mengarah pada populisme elan vital kaum muda dalam memainkan peranannya sebagai sebuah entitas yang memiliki spirit dan potensi penggerak, penggebrak dan pendobrak.
Atau mungkin, keresahan demikian hanya dirasa penulis yang sedih melihat dari sisi minimnya daya kritis kaum muda dewasa ini. Bukan hanya terjebak dengan budaya barat yang serba individualistik serta variannya (apatis, pragmatis, hedonis dan sejenisnya), namun juga, tersandung batu budaya timur tengah yang negatif. Lihat saja maraknya gerakan fundamentalisme Islam (Wahabisme, HTI serta sayap-sayapnya) memang memperihatinkan kondisi kaum muda di akhir tahun 2016 ini. Belum lagi merebaknya budaya “pokoknya” yang hingar-bingar di tubuh mahasiswa-mahasiswi.
Pernyataan yang paling akhir ini kemudian mejadi fokus utama tulisan ini, bukan pesimisme apalagi traumatik atas tindakan non populis yang ingin di bahas penulis. Melainkan lebih ke arah bacaan diri dalam menyikapi kondisi bangsa kita, sebut saja deklarasi indonesia sebagai bagian dari ASEAN COMUNITY di awal tahun 2015. Hal ini memungkinkan perdagangan bebas antar negara kawasan asean, yang menuntut masyarakatnya untuk bebas aktif dalam perdagangan lintas kawasan. Tentunya kaum muda pun mau tak mau mesti menghadapi kondisi demikian. Bukan untuk menakut-nakuti, namun inilah kondisi dan fakta yang sementara dihadapi kaum muda.
REUNI MASA LALU
Sebelum sumpah pemuda di kumandangkan pada tahun 1928. Masih sedikit kaum muda yang dapat menyadari betapa pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan fisik, mental dan pikiran dari bangsa asing. Bangsa belanda tepatnya. Hal itu dikarenakan minimnya kaum muda yang dapat mengenyam dunia pendidikan. Kalaupun ada, itu dikarenakan mendapatkan bekal dari pesantren yang notabene adalah model pendidikan asli dan khas indonesia. Model pendidikan agama yang diajarkan oleh kyai baik di teras rumahnya maupun gedung pesantren yang serba kekurangan fasilitas.
Bagi mereka yang mendapat didikan di sekolah hanyalah anak dari bangsawan yang sebagian besar menjadi antek kolonial saat itu. Berdasarkan politik etis 1901 yang diterapkan pemerintah hindia belanda (nama indonesia ketika itu) yang juga memprioritaskan pendidikan selain irigasi dan imigrasi. Pendidikan seadanya itu pun menjadi modal awal kaum muda terpelajar untuk mengkonsepsikan suatu cita-cita berdirinya kedaulatan rakyat yang mesti dipimpin oleh rakyat indonesia pula. Cita-cita kemerdekaan dari penjajahan pun terngiang meski baru hanya sekedar konsepsi sebagian orang saja. Selebihnya, kaum awam yang tak mendapatkan pemutar balikan kesadaran tentunya terus menjadi babu di negri sendiri.
Kaum muda yang turut andil dalam sumpah sakral itu kemudian melahirkan generasi emas sesudahnya. Generasi yang sudah lebih terdidik baik di dalam maupun luar negri yang terhimpun dalam berbagai macam organisasi sosial kemasyarakatan. Berpolitik di zaman itu awal tahun 1945 adalah mendedikasikan diri menjadi pelopor pergerakan nasional menuju kemerdekaan dari penjajahan jepang dan keinginan belanda yang dibantu sekutu untuk menguasai kembali indonesia yang baru seumur jagung di proklamirkan oleh mereka, anak muda terdidik yang punya daya krtis di atas rata-rata. Punya bacaan geopolitik dunia, geostrategi luar biasa sehingga mampu mengambil alih negeri nenek moyang menjadi milik anak bangsanya sendiri.
Bukan untuk nostalgia kebagahagiaan semata, perjuangan memerdekakan bngsa indonesia pun di iktui dengan pelbagai perang mempertahankan kemerdekaan. Lahirlah kemudia pertempuran surabaya yang diperingati menjadi hari pahlawan nasional yang jatuh pada 10 november. Waktu berlalu, perang dingin antara blok barat yang dikomandoi amerika serikat melawan blok timur yang di nahkodai oleh uni soviet pun menjadikan indonesia sebagai medan pertempurna. Bukan perang fisik lagi, perang digin lebih mengarah ke perang hegemoni budaya dan ekonomi. Dimana ketersediaak sumber daya alam yang dimiliki indonesia menjadi salah stau penyebabnya. Medan pertempuran menjadi tak hangat lagi ketika runtuhnya tembok berlin yang kemudian diikuti kemenangan blok barat. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan indonesia di kemudian hari.
Betapa tidak, indonesia yang baru merdeka secara terang-teragan membeberkan gerakan non blok yang tidak ingin berpihak sesalah satu blok yang sementara berperang. Namun faktanya kemudian adalah, setelah kemengangan amerika dan antek-anteknya, secara drastis menjadi negara adi kuasa yang meruntuhkan soviet. Terpecah menjadi beberapa negara dikala itu.
Hegemoni globalisasi sebagai bentuk imperialisme baru dan kolonialisme dalam jenis yang berbeda pun menjadi tantangan tersendiri. Hal demikian tentu tidak lepas dari peranan kaum muda 1966 yang turut meramaikan perpolitikan indonesia. Tumbangnya bung karno dari tahta negri ini bukan tanpa alasan dari imbas perang dingin. Keberpihakan kepada PKI menjadis enjata untuk militer yang di pimpin soeharto mengambil alih komando indonesia.
Tanpa terkecuali, kaum mud ayang ikut berafiliasi di dalamnya pun ikut mendidirikan rezim otoriter yang selanjutnya runtuh setelah perang antar blok itu usai. Kaum muda 1998 kemudian lahir dengan konsep reformasi indonesia. Namun reformasi yang setengah hati dan di bungkus dengan niat memperkaya diri itupun melahirkan banyak perlawanan kaum muda. Selepas dari itu hingga detik ini, kaum muda masi terjebak pada patahan-patahan gerakan yang kemudian mengheningkan diri dalam dekapan globalisasi. Setelah itu tak lagi banyak kaum muda yang menjadi pegiat sosial, ikut merasakan penderitaan rakyat miskin, buruh tani, dan kaum mustadafin lainnya. Masih ada, walaupun sedikit. Organisasi-organisasi kepemudaan hanya menjadi sarang agenda seremonial belaka. Jarang sekali melahirkan aktivis berjiwa populis.
Meskipun ada, mereka hampir punah dan perlu pelestarian. Tulisan ini dimaksudkan untuk merenungkan kembali sudah apa yang kaum muda deawasa ini perbuat untuk bangsaya. Mungkin saja di luar sana ada anak muda yang masih aktif berdiskusi dan ikut peduli akan kondisi bangsa ini. Semoga…
SIAPA KITA (?)
Bagi mereka yang masih sering berdiskusi, tentu paham betul mengenai pengantar yang penulis sajikan di atas. Bahwa ada semacam diktum yang melekat di diri kaum muda saat ini yaiti ” kaum muda harapan bantal”. Anggapan negatif demikian memang patut di jawab, bukan kemudian sekedar jawaban dalam bentuk rangkain teori yang hanya menjadi analisa belaka. Masih segar di ingatan kita memang, geliat kaum muda di masa-masa lalu baik dengan sumpah pemudanya, proklamasi kemerdekaannya, perang fisik melawan penjajah, peran mengisi kemerdekaan, hingga perlawanan pada kaum tua, perlawanan pada otoritarianisme militer, dan bahkan reformasi semu yang masih menggerogoti hingga kini. Kata “KITA” yang mesti di embankan pada kaum muda saat ini adalah bukan kita yang bekonsepsi sumpah pemuda, bukan kita yang melawan penjajahan belanda dan jepang, bukan kita yang memproklamasikan kemerdekaan, bukan kita yang menumbangkan rezim orde lama dan orde baru, buka kita yang menginisiasi reormasi.
Kata “kita” yang coba penulis uraikan adalah kita yang telah hadir kemasa muda ini, dengan banyak perangkap yang di hadapi. Baik itu di internal, kita menghadapi kondisi disintegrasi bangsa dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maraknya kunsumerisme, idividualistik, apatisme, pragmatisme, serta hedonisme. budaya serba instan yang oleh penulis di namai budaya pokoknya . Di eksternal kita menghadapi hegemoni westernisasi yang di kumandangkan oleh globalisasi dengan term segalanya serba cepat (fordisme, mc donaldisme dan internetisme), belum lagi toleransi umat beragama sedang di porakporandaan dengan maraknya gerakan fundamental dan liberal yang kian merajalela.
KENAPA KITA (?)
Lantas bagaimana menghadapi sekumpulan problematika yang sementara di hadapi ini kalau bukan dengan belajar. Belajar dari masa lalu, baik yang tersirat maupun tersurat. Belajar memahami keadaan serta mengambil langkah taktis strategis guna penyelamatan kemerdekaan yang telah susah paya di raih di masa lampau. Kita adalah kaum muda yang mengemban amanah dari pendahulu untuk mengisi kemerdekaan dengan terus belajar dari pengalaman masa lalu, yang buruk jangan di ulangi, yang baik di ambil, pemahaman akan sistem dunia yang semakin hari semakin menjadi-jadi tentunya perlu menjadi kesadaran bersama.
Sistem dunia yang penulis maksud adalah adanya keinginan negara-negara kuasa global yang banyak tergabung dalam organisasi ekonomi politik seperti UNI EROPA, UNESCO, SANGHAI CORPORATION, MNC group, TNC group yang terus menerus melancarkan hegemoni untuk negara-negara semi pinggiran seperti indonesia menjadi tetap tergantung sehingga memberikan kebebasan untuk kuasa modal asing tetap mengeksploitasi sumber daya alam kita yang kaya.
Karena kita anak muda masa kini pun harus cerdas menghadapi tantangan-tantangan yang ada maka penting kiranya mempertajam bacaan kepentingan dunia terhadap negeri kita. Mesti menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dengan mengambil baiknya untuk melawan sisi buruknya. Karena sebaik apapun globalisasi yang menjadi tema utama hegemoni barat terdapat intrik-intrik politik ingin menguasai cadangan ssumber daya alam kita. Negeri barat yang sudah terlanjur industri seperti amerika, eropa dan sebagainya tentu memerlukan bahan mentah untk megelola dan menjalankan pabrik-pabriknya. Pertarungan antar sesama mereka pun tak ayal di jumpai dari sabang sampai merauke. Perebutan hasil bumi seperti minyak dan gas, emas dan tambang-tambang lainnya. Hasil hutan sebagai keniscayaan negeri tropis yang kita miliki pun mestinya menjadi patut di waspadai kelangsungannya.
Hegemoni eksternal yang kita hadapi tak hanya itu, seperti halnya negara-negara semi pinggiran seperti indonesia, kita di himpit oleh dua samudera. Samudera pasifik dan hindia -atlantk, yang tentunya negara-negara yang mendiami seputaran samudera itupun terdapat pertempuran-pertempuran budaya. Belum lagi di sisi ekonomi, china sebagai pesaing amerika mesti diwaspadai ketangguhan ekonominya, hegemoni komunis merak pun tak boleh lepas dari perhatian. Kita pernah mengalami benturan dengan komunis sebelumnya. Jangan sampai gerakan 30 september PKI terulang. Di sisi lain australia sebagai satelit negeri-negeri barat pun menjadi bahan tersendiri untuk di perhatikan.
Pasar bebas yang telah berlangsung ini mesti di isi oleh kaum muda yang serba kreatif, dan inovatif dalam pelbagai bidang. Penulis yakin kata “kita” mesti dielaborasi mejadi sebuah kekuatan kaum muda yang tetap peduli terhadap kondisi bangsanya. Meskipun demikian, patut kita ambil hikmah dari masa lalu guna menapaki jalan masa kii dan masa depan nanti.
Kenapa kita, karena suatu perlawanan yang dilakukan secara sendiri-sendiri hanya akan melahirkan deretan kekalahan. Sudah bukan zamannya lagi ada pahlawan kesendirian. Yang ada adalah kerja kolektif. Ada adigium yang patut kita ambil pelajarannya yaitu” bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” ini menegaskan bahwa,d ibutuhkan kebersamaan kaum muda untu melakukannya. Di butuhkan kesadaran kolektif di dalam mengisi kemerdekaan ini.
UNTUK APA KITA (?)
Dalam pelbagai kesempatan, perlu kita ulangi secara terus-menerus kesadarn kritis itu mesti dibangun atas dasar proses yang tidak mudah. Membekali diri dengan keterampilan yag serba canggih adalah keniscayaan yang harus di hadapi. Menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk melawan hegemoni tekhnologi adalah bagian dari solusi alternatifnya. Sudah barang tentu diskusi mengenai kesadaran diri kaum muda adalah wajib hukumnya.
Dalam ranah organisasi pun demikian sebab, berbeda antara kaum muda yang terkafer dalam sebuah organisasi dengan mereka yang tidak berorganisasi. Bedanya adalah ketika berada dalam suatu organisasi, kaum muda tentu akan di hadapkan pada pilihan mengikuti ideologi yang di perjuangkan organisasi tersebut shingganya. Kesadaran akan dapat di bektuk di dalamnya. Orientasi kegiatan-kegiatannya pun akan termaktub dalam anggaran dasar da anggaran rumah tangganya. Pun hal demikian harus di tapaki secara serius guna untuk menghadapi segala kemungkinan.
Membekali diri dengan mengisi nalar mental yang tidak inlander (budak/jajahan) adalah salah satu tujuan adanya kata “kita”. Meski dengan terseok-seok menghadapinya dan butuh nafas panjang melakukannya, dengan bersandar kepada cita-cita luhur bangsa kesemuanya akan dapat di hadapi. Semboyan bhineka tunggal ika dapat mejadi spirit membangun negeri ini dengan mencintai perbedaan sebagai konsekwensi bagsa yang plural dan multikultural. Negera kesatua repoblik indonesia adalah sebuah negara yang d persatuka air laut sungai dan bukan dipisahkan olehnya. Kita adalah negeri kepulauan dengan penduduk muslim terbanyak dunia, dan negeri yang mengakui kebebasan beragama menurut kepercayaannya masing-masing adalah negeri dengan modal besar menghadapi segala tantangan-tantangan nanti. Dan kata “kita” dalam hal ini menegaskan kaum mudanya yang hidup di masa sekarang adalah “kita” yang melawan penindasan, mempelopori gerakan mengisi kemerdekaa dengan jalan mencerdaskan generasi kita.
Terus belajar dengan proses yang kita cintai, belajar mendisiplinkan diri, belajar memaknai kemerdekaan lantas mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang berpotensi melahirkan kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan negara bangsa indonesia, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dengan berasas pada perdamaian abadi dan tentunya dengan spirit ketuhanan yang maha esa.
Kita adalah kita yang ada saat ini, kita yang maju, kita yang cerdas, kita yang canggih yang tau berterima kasih pada pendahulunya. Yang bebuat kebaikan dengan tidak pandang bulu, suku, ras, agama dan lainnya. Karena kita adalah kaum muda inonesia yang senantiasa mawas diri dalam menghadapi beaneka ragaman. Selalu mau berbuat untuk indonesia tercinta. Karena “kita adalah kaum muda masa kini dan akan bermanfaat untuk bangsa ini”
PENUTUP
Berhenti mengeluh dan beproses terus adalah pengejewantahan dari nilai-nilai pancasila yang bercita-cita luhur dalam mengisi kemerdekaan. Menjadi pelopor pergerakan bangkit kaum muda adalah keniscayaan yang tak bisa di hindari. Pelopor pergerakan dalam maksud yang mulia, yakni mengisi kemerdekaan dengan pelbagai agenda perubahan untuk indonesia raya. Karena kita adalah kaum muda.(Rifkal Sanggilang)